Shoplifters (2018): Memperlihatkan yang Tak Terlihat

shoplifters-2018-010-family-dining-together

Merefleksikan hidup dengan segala kekurangannya, cerita-cerita terpenting umumnya berkisah tentang kejanggalan di tengah-tengah dunia yang bergulir mulus. Ada kegagalan dalam suatu sistem: konflik yang mengasingkan para tokoh dari dunianya; sesuatu yang membuat mereka menoleh saat orang-orang lain berpaling; atau justru kemanusiaan yang timbul dari keretakan itu sendiri. Shoplifters adalah salah satunya. Shoplifters menceritakan sisi kemiskinan urban di Jepang, sebuah narasi yang jarang diangkat dalam produk-produk budaya pop yang terlalu sering mengekspos gedung-gedung tinggi, gemerlap persimpangan dan lampu neon, kemajuan teknologis, atau grup-grup idol ternama.

Di tepi kota Tokyo, Keluarga Shibata hidup berdesak-desakan dalam rumah mungil. Osamu (Lily Franky) adalah seorang pekerja konstruksi yang di waktu senggangnya membantu perekonomian keluarga dengan mencuri makanan dan peralatan mandi di pertokoan terdekat. Anak laki-lakinya, Shota (Jyo Kairi), yang tidak bersekolah dan membantu ayahnya mencuri, seiring dengan waktu mulai meragukan apakah keluarganya hidup dengan cara yang benar. Istrinya, Nobuyo (Sakura Ando), bekerja sebagai tukang cuci, sedangkan adiknya yang tinggal bersama mereka, Aki (Mayu Matsuoka), bekerja di sebuah peep show, salah satu hiburan seksual yang menjamur di red light district Tokyo. Sementara si Nenek (Kirin Kiki), sebagaimana nenek-nenek pada umumnya, menghidupi keluarga dengan uang pensiunnya.

Stabilitas yang tak stabil ini terganggu saat Osamu dan Shota menemukan seorang gadis kecil (Miyu Sasaki) yang duduk sendiri, di tengah-tengah musim dingin yang menggigit. Keputusan mereka untuk membawanya pulang untuk makan malam berujung pada tekad untuk mengadopsi Yuri, sang gadis, menyelamatkannya dari keluarga yang penuh kekerasan. Keputusan untuk mengangkat Yuri ke dalam keluarga Shibata kerap menemui dilema-dilema moral dalam keseharian mereka. Apakah memang lebih baik bagi seseorang untuk bisa memilih ikatan keluarga mereka? Apakah kita tahu yang dibutuhkan oleh orang lain—dan diri kita sendiri? Pertanyaan-pertanyaan ini pun perlahan menyibak rahasia-rahasia keluarga Shibata sepanjang jalannya film.


Menghadirkan realita dalam bingkaian sinema tak pernah mudah. Shoplifters adalah salah satu film yang membuat saya cengar-cengir sendiri dalam bioskop dan membatin, “kok bisa aja nih orang?” Meskipun kita bisa menempatkan film secara metaforis sebagai cermin dari kehidupan kita, ia tidak serta-merta memproyeksikannya secara mentah (bahkan, cara tersebut kadang bukan yang paling efektif, contohnya: saya belum selesai nonton Jeanne Dielman karena ngantuk waktu nontonnya). Jalan cerita kerap mengalami pembingkaian ulang di meja penyuntingan: ada bagian yang dipotong maupun ditekankan oleh si pembuat film.

Lantas, bagaimana cara menghadirkan ilusi cerminan tersebut? Bagaimana membuat penonton merasakan keterlibatan dalam arus cerita, atau hubungan emosional dengan pengalaman mereka, namun pada saat yang sama menyamarkan bingkaian tersebut agar trik-trik sang pembuat film tak tampak? Butuh keterampilan dan sensitivitas emosional yang tinggi dari pembuat film untuk dapat mewujudkan cita-cita tersebut dan Koreeda punya itu.

Saat bicara tentang keluarga, tema besar yang mengikat kisah-kisah yang ia ceritakan, Koreeda paham betul dinamika dan seluk-beluknya: retak yang selalu ada di permukaan setiap keluarga, luka masa kecil yang muncul kembali dalam kehidupan dewasa, pergulatan antara benci dan kasih dalam memaafkan sesama. Ini tampak dalam Our Little Sister yang menceritakan tiga kakak-beradik yang hanya punya satu sama lain untuk bergantung, menjalani kehidupan normal dalam usaha memendam duka untuk kakek dan nenek mereka; dan pahit yang menyisa setelah ditinggalkan kedua orang tua yang tak puas dengan kehidupan mereka masing-masing. Berusaha mencegah hal yang sama terjadi kepada adik tiri mereka, sang kakak tertua mengadopsi adik tiri mereka. Ada banyak perasaan kompleks yang berusaha dieksplor, dan hal-hal yang tak dapat diungkapkan oleh kata-kata namun dapat dirasakan saat menonton film itu.

Namun, refleksi yang diproyeksikan Our Little Sister kurang meyakinkan karena adegan yang terasa klise, beberapa penangkapan adegan yang tampak seperti estetisasi yang tersia-siakan dari pemandangan indah di film-film animasi Ghibli, salah satunya, seluk-beluk rumah kayu tradisional Jepang dan pemandangan pedesaannya yang mengingatkanku kepada film My Neighbor Totoro. Keindahan tersebut tidak ditopang dengan penokohan yang baik dari ketiga kakak beradik, dan tiadanya beban emosional dalam beberapa keputusan yang harus diambil.

Sementara, dalam Shoplifters, kompleksitas hidup para karakter telah menubuh pada film dalam detail-detail kecil: barang-barang yang berserakan dan bertumpuk di rumah mereka, dan posisi makan malam mereka yang “berantakan” pula. Setiap dinamika karakter diceritakan melalui detail yang diposisikan secara natural. Salah satu yang kusukai adalah hubungan antara Nobuyo dan Osamu. Mereka berdua memiliki pekerjaan tetap dengan bayaran rendah dan nyaris tanpa jaminan, diceritakan saat Nobuyo mengeluh tentang pekerjaannya yang harus dibagi dua dengan pegawai lain, dan Osamu yang terkena kecelakaan kerja namun tak mendapat kompensasi. Keintiman mereka pun terpaksa dikorbankan saat hidup bersama yang lainnya, Osamu berdalih bahwa dirinya dan Nobuyo sudah terlalu terikat oleh cinta dan tak butuh lagi hubungan seksual.

Namun, celetukan itu dibantah dalam adegan favoritku, di mana Nobuyo berusaha memikat Osamu saat keduanya sedang duduk ngadem sambil makan mie dingin. Karena cuaca musim panas, Osamu bertelanjang dada dan Nobuyo mengenakan lingerie (dan make-up sisa tester di toko, I relate!). Terjadi tarik-ulur dan saling memberi kode yang halus di antara keduanya, tapi tampak Nobuyo yang berani mengungkapkannya lebih dulu, sementara Osamu menanggapinya malu-malu seperti anak puber.

Adegan-adegan tersebut bukan hanya trivia menyenangkan, namun dapat menjelaskan banyak tentang masa lalu Nobuyo dan Osamu, yang akan sangat krusial di babak ketiga film. Penyingkapan-penyingkapan kecil mengenai masa lalu mereka diberikan secara perlahan, dalam percakapan dan raut wajah, begitu samar sampai terkadang momen itu lewat begitu saja. Dengan detail-detail kecil yang telah disebar sejak awal, beberapa plot twist kecil tersebut menjadi masuk akal, dan mampu menjelaskan perkembangan karakter mereka di masa depan.

Lama setelah menonton film Shoplifters, aku masih sering memikirkan film ini. Rasanya ingin bisa mengunjunginya sekali lagi. Kesederhanaannya memesonakan, dan aku masih harus mengais-ngais kosakata visual dan emosionalku yang terbatas untuk mengungkapkannya. Koreeda berhasil membuat sesuatu yang asing menjadi personal: aku, misalnya, beruntung tidak harus melakukan usaha-usaha ekstra untuk mempertahankan hidup seperti yang dilakukan keluarga Shibata, namun aku merasa terlibat dalam kehidupan keluarga itu, bahkan menghubungkannya dengan perasaan yang kumiliki berdasarkan ikatan-ikatan keluargaku. Paling tidak, ada ilusi perasaan tersebut, alih-alih kesadaran bahwa aku sedang menonton sebuah representasi dari gagasan keluarga itu.

Kesalahan-kesalahan yang kerap terjadi dalam merepresentasikan kehidupan yang berbeda dari si pembuat film adalah tendensi eksotisme berlebihan atau poverty porn. Atau bahkan kegagalan filmmaker membuat karakternya “berbicara” malah menghalangi penonton untuk mengenal si karakter itu sendiri (maapkeun, Roma). Seakan mendengar pertanyaan batinku, Koreeda menjawabnya dalam wawancaranya bersama Vulture dalam kutipan berikut ini:

“I don’t think it’s a technique. I don’t think that’s something you can make up, or trick people into believing through your filmmaking. It comes from the fundamental worldview, the sense of humanity. It comes from the depth of the work’s creator. If you have that empathy, you won’t go down the road of voyeurism. You can’t just sympathize; you have to make visible what is invisible. Make visible the factors that have brought the impoverished to this point, so that the audience can see them in a fuller and more complex way. That skirts the trap of poverty porn.”

“Memperlihatkan yang tak terlihat” adalah sesuatu yang cukup sulit dilakukan para pendongeng di berbagai medium, dan Koreeda berhasil melakukannya dengan jujur, tanpa memperlihatkan usaha memperlihatkan itu sendiri. Tak hanya sang sutradara, tentu saja: jajaran pemeran utama mengisi kanvas Koreeda dan mengembangkannya lebih jauh. Salut untuk Sakura Ando di sini, yang berhasil membuatku merinding dalam dialog-dialognya yang emosional, apalagi kalau posisi kamera sudah berada di tengah sehingga Nobuyo seakan berbicara kepada kamera. Benar-benar hatiku hancur dibuatnya.

Perkembangan karakter Nobuyo jugalah yang menambatkan film pada tanda tanya di babak ketiganya: apakah lebih baik jika kita mampu memilih keluarga kita sendiri? Apakah kita siap untuk memilih maupun dipilih, serta menerima konsekuensinya, yang sering kali menyakitkan?

Aku jadi teringat pada sebuah ulasan di Letterboxd yang mengatakan: “koreeda’s films are like hugs until they punch you in the heart.” Sepenuh hati aku setuju dengan si penulis.

***

Dini Adanurani adalah seorang penerjemah lepas dan penulis yang tengah menjalani studinya di program studi Filsafat, Universitas Indonesia. Ia juga turut merancang festival film di UKM Sinematografi UI dan bermain sambil belajar visual di Milisifilem Collective. Kunjungi keluh-kesahnya di jesuismager.wordpress.com

 

Leave a comment